Minggu, 15 Juli 2007

Perlawanan Diam dalam Tradisi Global

Seorang ayah terheran-heran ketika mengantarkan anak lelakinya membeli aksesori pencinta musik underground di sebuah distribution outlet (distro) kawasan Terminal Kebondalem, Purwokerto. Minat anak pada lagu keras yang tak bisa diikuti telinga orang kebanyakan membuat sang ayah merasa cemas.

Apalagi melihat aksesori yang dikenakan kebanyakan penggemar musik ini. T-shirt hitam dengan gambar abstrak, gelang, ikat pinggang, cincin baik untuk jari kaki maupun tangan, hingga anting yang semuanya bernuansa metal. Belum lagi wajah yang dicat hitam putih saat ada pementasan.

Apa ini tak berbahaya bagi perkembangan anak, kata sang ayah pada pemilik distro. Pemilik distro tersenyum, Tidak apa-apa pak, itu hanya tampilan luar saja. Yang terpenting adalah pendampingan.

Pemilik distro itu adalah Budi Santhet (31), yang dijuluki Betet oleh teman-temannya. Sudah menjadi hal biasa bagi ayah satu anak pemilik distro Clinic Underground itu mendengar musiknya dianggap aneh, meskipun penggemar musik ini di Purwokerto dan sekitarnya kini diperkirakan mencapai sepuluh ribu orang. Sebagian orang melihatnya sebagai hal biasa, sebagian lagi memandang dengan menggeleng-gelengkan kepala. Tidak mengerti. Namun itulah yang kini bisa ditemukan di Purwokerto dan itu pula yang tim Lintas Timur-Barat Kompas saksikan di beberapa sudut kota.

Subur di Jawa Selatan

Media massa yang membuat dunia menjadi sebuah desa global mau tak mau juga membawa pandangan-pandangan baru bagi anak muda Purwokerto. Tak heran jika aliran musik underground yang muncul di Inggris pertengahan era 1970-an sebagai aliran yang mengadakan perlawanan atas kemapanan dan kapitalisme dengan mudah menjadi subur di Jawa Selatan selama 15 tahun terakhir.

Setelah Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, Purwokerto menjadi kota yang dianggap tua dalam memperkembangkan musik underground. Ribuan anak muda di Purwokerto dan daerah-daerah pinggiran Purwokerto seperti Sokaraja, Karangsari, Cilongok, dan Karanglewas dengan mudah mengidentikkan diri dalam komunitas pencinta underground, baik dalam aliran black t-shirt maupun punk. Tak terkecuali hinterland (pedalaman) Purwokerto seperti Bumiayu, Bobotsari-Purbalingga, bahkan sampai ke Kebumen dan Wonosobo.

Di Purwokerto, penggemar musik ini, khususnya aliran punk, biasa ditemui tengah nongkrong di Jalan Jendral Sudirman, Purwokerto, daerah Plaza Sri Ratu. Hanya saja, dua bulan terakhir mereka sudah tak terlihat karena dibubarkan aparat. Susah juga membedakan anak-anak punk dengan gembel akibat penampilannya, tutur Iwan, seorang wartawan media lokal.

Menurut Budi hal itu terjadi karena ada dua kelompok pencinta musik ini. Kelompok yang benar-benar memahami roh underground dan kelompok poser alias nampang doang. Kelompok poser ini yang sering kali bikin ulah. Wajar jika kemudian orang berpandangan miring terhadap mereka.

Mereka yang paham semangat underground akan dengan senang hati bercerita bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari sebuah gerakan global untuk membentengi diri dari kapitalisme. Ini sebuah budaya perlawanan pada kapitalisme lewat menciptakan produk sendiri, mendistribusikan sendiri, dan menjual di komunitasnya sendiri, kata Wendy Bandito (30), salah seorang tokoh aliran punk Purwokerto pemilik Punk Station Distro.

Mandiri

Gerakan yang disebut Do It Yourself (DIY) plesetan dari Daerah Istimewa Yogyakarta? itu, kata Wendy, telah membuat anak-anak muda penggemar punk yang kebanyakan usia SMP hingga mahasiswa lebih mandiri. Mereka menciptakan lagu sendiri, merekam sendiri, mendistribusikan sendiri dengan melakukan barter dengan sesama komunitas underground di banyak kota atau menitipkannya di distro-distro.

Barter antarnegara pun bisa terjadi, bahkan rekaman dalam album yang sama. Lagi-lagi dunia cyber berjasa dalam hal ini. Album Whos the Alien misalnya. Kaset itu berisi kompilasi dua band punk, yaitu Horroshow dari Purwokerto dan Mansic dari Swedia. Masing-masing kelompok menyumbang tujuh lagu. Hanya dua lagu yang dibawakan Horroshow yang berbahasa Indonesia.

Biasanya mereka merekam kaset per 100 buah, namun kover kaset telah dicetak 1.000 buah lebih dulu. Jadi kalau habis, baru rekam lagi, tutur Wendy. Setiap kali mengeluarkan album, merchandiser barang pernak-pernik juga dikeluarkan.

Yang menyenangkan, apa yang ingin diekspresikan dikeluarkan saja tidak peduli selera pasar, kata Edo (23), mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jendral Sudirman, yang bersama kelompoknya, Stupid Brother, baru saja mengeluarkan album.

Meskipun tidak peduli selera pasar, syair lagu yang dibawakan kebanyakan mengajak orang melihat realitas sekitar yang pada akhirnya melawan kemapanan. Pertanyaan-pertanyaan relasi antara manusia dan Tuhan mendominasi aliran black t-shirt, sementara aliran punk lebih pada melihat realitas sekeliling, khususnya relasi antarmanusia.

Lihat saja lirik-lirik lagu mereka dalam musik dengan bit tinggi (irama cepat). Lirik dari kelompok band punk the Banditos, misalnya, mengajak melihat dunia sekeliling dan mengkritisi diri sendiri.

Bukalah mulut kamu/Lantangkan saja suaramu/Teriakkan isi hatimu/Dan bebaskan jiwa kamu/Jangan pernah berhenti/Jiwa tak boleh mati/Jangan pernah berhenti/kita lalui.... Revolusi... Revolusi diri.

Atau lirik lagu Generasiku, o Generasiku kini pandai bertinju/pisau, batu, dan kayu jadi alat bertinju/di tengah ramai kota di jalan utama/saling tinju meninju, saling serbu menyerbu.

Sedangkan syair lagu moderat lebih mengkritisi dunia politik. Seperti para elite politik bicara selangit/partai-partai politik jamur saat paceklik/berikan mimpi-umbarkan janji/kutahu semua semu-kutahu semua palsu/bicara soal politik membuat otak sakit/dengar berita politik bikin perut melilit.

Obrolan seputar realitas sosial selalu ada. Bahkan menurut Edo, mereka juga suka turun ke jalan berunjuk rasa dengan para aktivis mahasiswa dengan tetap memakai atribut punk. Namun, kata Wendy sebagian besar punker memilih tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Mereka memilih diam dan mengkritisi dalam lagu.

Tumbuh subur

Underground subur di Purwokerto tak lepas dari adanya distro-distro yang menghidupinya. Tercatat ada empat distro yang ada, yaitu Clinic Underground, Sabotage, Punk Station, dan Big Power. Selain sebagai pusat nongkrong, distro juga berfungsi sebagai lembaga yang menerbitkan rekaman.

Wendy mengatakan dalam setahun setidaknya ia meluncurkan dua hingga empat album indi lebel. Satu kali produksi dibutuhkan dana sekitar Rp 2 juta dengan harga eceran kaset Rp 15.000.

Aliran-aliran dalam punk, seperti punk rock, skin head, core, crush core, melodic core, hard core, dan street punk ada di Purwokerto. Sedangkan aliran dalam black t-shirt, seperti transmetal, black metal, dan ghotic juga ada.

Menurut Wendy, komunitas ini bukanlah komunitas mapan, namun gampang mengumpulkan. Semua terjadi karena masing-masing orang memahami semangat kebebasan (freedom) persaudaraan (brotherhood) dan kesejajaran (egality) di antara mereka.

Begitu ada acara seperti launching album salah satu kelompok band yang akan digelar tanggal 20 November ini, lebih dari seribu anak muda dipastikan akan hadir. Tentu saja ekses-ekses kebebasan yang identik seperti minum, mabuk, hingga seks bebas pun satu dua telah terjadi.

Dunia yang dalam dunia cyber disebut sebagai desa global telah berpengaruh pula dalam kehidupan anak muda di mana pun, tidak terkecuali kota dalam budaya Jawa-Sunda, Purwokerto। (AUFRIDA WISMI WARASTRI) Kompas/ Senin, 28 November 2005

Sabtu, 14 Juli 2007

Woter Boom Untuk Siapa

Hari minggu aku jalan ke pantai widuri. Pemda tengah membuat proyek pariwisata woter boom di pantai ini. Sungguh proyek yang tak sedikit menghabiskan uang tentunya. Buat siapa sebenarnya proyek semacam ini? Aku tak habis mengerti atau mungkin jalan pikiranku tidak sampai untuk memahami gagasan dan kebijakan Pemda.

Yang Aku tahu, pantai Widuri itu tempat rekreasi orang-orang gunung. Yang datang pun hanya orang Pemalang, yang mungkin ingin sedikit melepas lelah. Rekreasi bagi orang-orang di tempat ku, bukan merupakan kebutuhan yang mendesak. Orang-orang sibuk bertani setiap harinya, sibuk berdagang. Untuk siapakah proyek seperti ini? Jarang orang dari luar kabupaten yang berkunjung ke pantai Widuri ini.

Adakah ini hanya proyek mercu suar belaka? Paling tidak itu yang melintas di benak pikiranku. Kekuatiranku adalah jika kelak selesai, tidak akan membawa manfaat yang besar. Investasi yang dikucurkan oleh pemerintah daerah, jangan-jangan in come yang masuk tidak sebanding biaya investasi yang di tanam.

Sepulang dari Pantai Widuri, aku merenung dan kembali mencari jawab, sebenarnya buat siapa pembangunan ini. Pembangunan untuk masyarakat atau pembangunan di masyarakat? Jika pembangunan pariwisata untuk masyarakat, tentunya akan dilandasi oleh pemikiran yang mendalam bahwa untuk sementara ini, pantai Widuri dikunjungi oleh orang-orang gunung yang hanya mampu membayar tiket masuk tidak terlalu besar.

Aku berkesimpulan, pembangunan water boom di pantai Widuri itu adalah pembangunan di Pemalang। Membangun sarana pariwisata yang tidak merupakan kebutuhan masyarakat, jadi lebih merupakan sebagai proyek mercu suar yang sekilas mentereng semata.
Technorati Profile

Design | Elque 2007